Contoh Post-Truth di Media Sosial dan Dampaknya Terhadap Masyarakat oleh: Eddy Cahyono Sugiarto
“A lie told once remains a lie but a lie told a thousand times becomes truth” – Paul Joseph Goebbels
Perkembangan teknologi digital dewasa ini semakin mendominasi berbagai aspek kehidupan, termasuk ekonomi, politik, budaya, dan keamanan. Media sosial, sebagai salah satu inovasi terbesar di era digital, telah mengubah pola komunikasi manusia secara drastis.
Informasi kini bergerak dengan cepat dan tanpa batas ruang maupun waktu, memungkinkan interaksi instan di antara pengguna. Namun, bersamaan dengan kemajuan ini, muncul fenomena yang disebut post-truth, di mana kebohongan yang diulang berkali-kali mulai dianggap sebagai kebenaran oleh masyarakat.
Fenomena Post-Truth di Era Media Sosial
Istilah post-truth pertama kali diperkenalkan oleh Steve Tesich pada tahun 1992 melalui esainya di The Nation. Fenomena ini menggambarkan situasi di mana fakta objektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik dibandingkan emosi dan keyakinan pribadi.
Peran media sosial dalam fenomena ini sangat signifikan. Melalui berbagai platform seperti Facebook, Twitter, dan Instagram, informasi—baik benar maupun salah—dapat menyebar dengan cepat dan menjangkau audiens luas.
Di era post-truth, masyarakat lebih cenderung mencari pembenaran yang sesuai dengan keyakinan mereka daripada kebenaran objektif. Fakta bersaing dengan hoaks, dan media arus utama kini harus berhadapan dengan semakin tipisnya batas antara kebenaran dan kebohongan.
Hal ini menjadi semakin parah dengan adanya algoritma media sosial yang memfilter informasi yang sesuai dengan preferensi pengguna, sehingga menciptakan echo chambers—ruang di mana seseorang hanya mendapatkan informasi yang memperkuat keyakinannya sendiri.
Dampak Post-Truth pada Masyarakat
Fenomena post-truth memiliki dampak yang signifikan terhadap masyarakat, terutama dalam meningkatkan polarisasi sosial. Penyebaran informasi palsu melalui media sosial sering kali menyentuh isu-isu sensitif seperti agama, ras, dan identitas kelompok, yang dapat memicu konflik di masyarakat. Jika tidak kita antisipasi dengan baik, fenomena ini dapat menjadi ancaman bagi stabilitas nasional dan menghambat pembangunan.
Selain itu, media sosial sering kali menjadi alat propaganda oleh kelompok-kelompok tertentu untuk membentuk opini publik yang sesuai dengan kepentingan mereka. Penyebaran informasi meskipun tampaknya indah atau menguntungkan, sering kali tidak memiliki dasar fakta dan hanya bertujuan untuk memanipulasi emosi dan persepsi publik.
Solusi: Pentingnya Literasi Digital
Dalam menghadapi fenomena post-truth, literasi digital menjadi salah satu solusi yang paling penting. Masyarakat perlu berbekal kemampuan untuk berpikir kritis, mengenali informasi yang benar, dan memverifikasi sumber informasi sebelum membagikannya. Di Indonesia, gerakan bijak bermedia sosial perlu kita gelorakan untuk melawan penyebaran hoaks, fake news, dan false news yang semakin meningkat.
Contoh Post-Truth di Media Sosial dan Dampaknya Terhadap Masyarakat
Contoh konkrit dari post-truth di media sosial, yaitu hoaks politik dan penyebarannya melalui media sosial. Sebab dalam politik Indonesia, post-truth memiliki pengaruh yang serius. Hoaks politik yang tersebar di era post-truth dapat mengganggu stabilitas politik dan ketahanan nasional.
Penyebaran hoaks politik juga berpotensi memicu konflik sosial dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi politik. Bahkan, hoaks politik dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk mempengaruhi opini publik dan memenangkan dukungan politik.”
Contoh post-truth terlihat dalam penyebaran hoaks politik yang menggantikan fakta objektif dengan narasi emosional dan manipulatif, sehingga opini masyarakat lebih dipengaruhi oleh kebohongan yang tersebar melalui media sosial daripada fakta yang diverifikasi. Dampaknya pada masyarakat termasuk polarisasi, kerusakan kepercayaan terhadap institusi, dan ketidakstabilan sosial.
Pengguna media sosial juga harus memahami peran penting mereka dalam mendukung pemerintahan dan menjaga keutuhan bangsa. Warganet yang cerdas dapat berkontribusi positif dengan tidak menyebarkan informasi yang belum mereka verifikasi kebenarannya.
Kampanye “saring sebelum sharing” harus terus bersama-sama kita gaungkan agar masyarakat tidak mudah terpengaruh oleh informasi yang bersifat manipulatif.
Kesimpulan
Fenomena post-truth di media sosial telah menjadi tantangan besar di era digital saat ini. Informasi palsu yang menyebar dengan cepat dapat mempengaruhi opini publik dan menciptakan polarisasi di masyarakat.
Oleh karena itu, literasi digital menjadi kunci untuk melawan dampak negatif dari fenomena ini. Masyarakat yang mampu berpikir kritis dan bijak dalam menggunakan media sosial akan menjadi benteng utama dalam menghadapi ancaman post-truth di masa depan.
Mari kita ciptakan atmosfer positif di dunia digital dengan meningkatkan kecerdasan literasi digital dan berkontribusi terhadap masa depan yang lebih baik.