Apa yang Dimaksud dengan Mujhid Muzhid?
Apa yang Dimaksud dengan Mujhid Muzhid?—
Ada satu kata dalam kehidupan ini yang sering kali terasa seperti teka-teki silang yang harus dipecahkan. Kata tersebut penting untuk membangun kemajuan dan peradaban spiritual yang lebih baik bagi setiap individu.
Namun, masih banyak yang keliru memahaminya, bahkan saling bertentangan dalam praktiknya. Meskipun orang tahu artinya, dalam penerapannya sering kali melenceng.
Akibatnya, muncul pemahaman baru yang justru menyimpang dan berlawanan arah, yang bukannya memperbaiki, tetapi malah merusak. Padahal, batasannya jelas dan contohnya nyata. Kata itu adalah “cukup.”
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “cukup” memiliki enam makna, salah satunya adalah: dapat memenuhi kebutuhan atau memuaskan keinginan dan sebagainya; tidak kurang.
Namun, kata ini sering kali disalahartikan menjadi “cukup untuk membeli rumah, apartemen, mobil, menikah, berlibur”, dan seterusnya, hingga melampaui makna aslinya.
Akibatnya, “cukup” kehilangan jati dirinya dan berubah menjadi “tidak cukup”, bahkan cenderung berlebihan. Lebih buruk lagi, hal ini bisa membuat seseorang kewalahan.
Beruntung, ada yang cepat sadar diri. Saat itulah saya mendapatkan pesan indah dari Sang Guru Bijak yang mengingatkan kembali pada makna sejati “cukup” dalam kehidupan ini. Pesannya singkat: rasa cukup adalah kekayaan terbesar.
Pesan ini terdengar unik dan terasa aneh di telinga, bahkan membuat kita berpikir keras. Tidak langsung dipahami. Sebelum memahami yang satu, datang lagi tantangan lain.
Rasanya seperti dilepaskan dari satu ujung hanya untuk ditarik di ujung lainnya. Apalagi bagi mereka yang berlomba dengan waktu, sibuk mencari di luar, bekerja keras, dan berjuang mati-matian, tetap saja sering merasa jauh dari kata cukup.
Lalu, tiba-tiba ada yang mengatakan bahwa “cukup” adalah kekayaan terbesar manusia. Ini pasti dianggap aneh, bahkan bertentangan dengan arus utama.
Wajar jika banyak yang beranggapan bahwa pemahaman ini menganjurkan kemalasan atau menuduhnya sebagai bentuk anti-kemajuan. Dan tentu saja, pandangan semacam ini sah-sah saja.
Namun, bagi mereka yang sudah berusaha menjalani hidup dengan prinsip “cukup,” akan cepat memahami bahwa memang rasa cukuplah kekayaan terbesar manusia.
Hal ini lebih dipahami oleh mereka yang mengenal wasiat indah dari ’Abdullah bin ’Amr bin Al ’Ash, di mana Rasulullah ﷺ bersabda:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ هُدِىَ إِلَى الإِسْلاَمِ وَرُزِقَ الْكَفَافَ وَقَنِعَ بِهِ
“Sungguh beruntung orang yang diberi petunjuk dalam Islam, diberi rezeki yang cukup, dan merasa puas dengan rezeki tersebut.” (HR. Ibnu Majah).
Sebagai kekayaan terbesar, “cukup” berarti menikmati sepenuhnya apa yang dimiliki. Cukup adalah mensyukuri apa yang diberikan oleh Allah secara total, bukan sekadar menerima.
Sebab, apa yang diperoleh belum tentu dapat dinikmati oleh semua orang. Namun, dengan rasa cukup, semuanya terasa pas, sesuai dengan apa yang dibutuhkan. Tidak kurang, bahkan bisa menjadi berlebih.
Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Baththol:
الرضا بقضاء الله تعالى والتسليم لأمره علم أن ما عند الله خير للأبرار
“Ridho dengan ketetapan Allah Ta’ala dan berserah diri kepada-Nya, karena mengetahui bahwa apa yang ada di sisi Allah adalah yang terbaik bagi manusia.”
Apa yang Dimaksud dengan Mujhid Muzhid?
Penjelasan dari Sang Guru Bijak ini sangat mencerahkan. Bukan berarti merasa cukup lalu berhenti berusaha dan bekerja, melainkan mengikuti hukum kehidupan: mujhid artinya bekerja keras dengan penuh usaha dan muzhid artinya hidup hemat.
Seperti yang diwariskan oleh Rasulullah ﷺ dalam sabdanya:
قَدْ أَفْلَحَ الْمُزْهِدُ الْمُجْهِد
“Sungguh beruntung orang yang bekerja giat dan hidup hemat.” (HR Ahmad).
Dengan prinsip Nrimo ing pandum, kita mendapatkan pilihan yang mengagumkan: bekerja dan menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya, namun menerima hasilnya dengan rasa cukup yang mendalam.
Ada yang berubah dalam diri kita ketika kerja keras dijalani dengan perasaan cukup. Tugas-tugas tetap berjalan, usaha tetap berlanjut, namun rasa syukur terus tumbuh, membukakan pintu kehidupan yang lebih indah.
Kehidupan ini terasa lebih hangat, tidak hanya dengan diri sendiri, tetapi juga dengan keluarga, tetangga, dan teman-teman. Rasa syukur yang tulus membuat kita lebih mudah terhubung dengan orang lain.
Dalam cahaya pemahaman ini, kita bisa melihat bahwa rasa cukup lebih dari sekadar memaksakan diri untuk damai dan bahagia. Meskipun awalnya mungkin terasa dipaksakan, lama-kelamaan, rasa cukup menjadi kebiasaan, hingga kita menemukan kedamaian dalam kehidupan yang sederhana namun kaya makna.
Seperti yang pernah Rasulullah ﷺ sampaikan dalam hadits:
وَارْضَ بِمَا قَسَمَ اللَّهُ لَكَ تَكُنْ أَغْنَى النَّاسِ
“Ridholah dengan apa yang Allah bagikan kepadamu, maka kamu akan menjadi manusia terkaya.” (HR At-Tirmidzi).
Dari ’Ubaidillah bin Mihshan Al Anshary, Nabi ﷺ bersabda:
مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِى سِرْبِهِ مُعَافًى فِى جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا
“Barangsiapa di antara kalian yang merasa aman di rumahnya, sehat tubuhnya, dan memiliki makanan pokok untuk hari itu, maka seakan-akan seluruh dunia telah terkumpul dalam dirinya.” (HR Tirmidzi).
Apa yang Dimaksud dengan Mujhid Muzhid?
Menguatkan konsep “cukup”, Sang Guru Bijak sering mengajarkan bahwa hidup berputar seperti roda. Setiap pencarian kekayaan yang menjauh dari pusat roda akan membuat kita mudah terguncang.
Namun, jika pencarian diarahkan ke dalam, ke titik pusat roda, maka kita akan menemukan rasa cukup yang damai, syukur, dan penuh ketenangan.
Bagi yang belum pernah mencoba, hidup di titik pusat roda dengan rasa cukup mungkin terdengar mustahil. Namun, dengan keberanian untuk mencoba dan melatih diri, pintu kehidupan ini bisa terbuka. Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ ، فَرَّقَ اللهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ ، وَمَنْ كَانَتِ الْآخِرَةُ نِيَّـتَهُ ، جَمَعَ اللهُ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ غِنَاهُ فِيْ قَلْبِهِ
“Barangsiapa tujuan hidupnya adalah dunia, Allah akan mencerai-beraikan urusannya, dan menjadikan kefakiran di pelupuk matanya. Tetapi barangsiapa yang tujuan hidupnya adalah akhirat, Allah akan mengumpulkan urusannya dan menjadikan kekayaan di hatinya.” (HR Ibnu Majah).
Hidup yang ideal adalah hidup yang kaya, baik di luar maupun di dalam. Inilah yang diidamkan oleh semua orang. Orang-orang yang mampu menggabungkan kerja keras dengan rasa cukup akan menemukan kebahagiaan sejati.
Mereka mungkin tampak biasa dari luar, namun kaya akan pengalaman dan kebahagiaan dari dalam. Rasa cukup membuat kita lebih sedikit bergantung pada penilaian orang lain.
Dinilai baik atau buruk, pintar atau bodoh, tidak lagi menjadi masalah. Sebab pujian dan kritikan hanya membersihkan sebagian, namun bisa memperkeruh bagian lain.
Sedangkan rasa cukup membawa ketenangan dan kebersihan batin, seperti lap pel yang membersihkan tanpa merusak. Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
“Yang disebut kaya bukanlah banyaknya harta, tetapi hati yang merasa cukup.” (HR Bukhari).
Rasa cukup adalah kekayaan terbesar. Dalam kehidupan yang sesederhana apapun, jika disertai rasa cukup dan syukur, kita akan menemukan hidup yang bermanfaat dan bermakna.
Tugas kita adalah menemukan rasa cukup ini, agar hidup kita penuh arti. Jika suatu saat kita diberi kehidupan yang berlimpah harta, kita akan benar-benar memahami makna hadits Nabi ﷺ berikut ini:
**لاَ بَأْسَ بِالْغِنَى لِمَنِ اتَّقَى وَالصِّحَّةُ
لِمَنِ اتَّقَى خَيْرٌ مِنَ الْغِنَى وَطِيبُ النَّفْسِ مِنَ النِّعَمِ**
“Tidak mengapa menjadi kaya bagi orang yang bertakwa, dan kesehatan lebih baik daripada kekayaan, serta jiwa yang tenang adalah bagian dari kenikmatan yang luar biasa.” (HR Ibnu Majah).
Artikel merupakan buah pikiran dari: Faizunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan.