Pesan Ketua Umum LDII, Gelorakan Bela Negara: Membangun Ketahanan Bangsa untuk Indonesia Maju
Jakarta (19/12/2024). Semangat bela negara terus digelorakan untuk memperingati deklarasi Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang terjadi pada 19 Desember 1948 di Sumatera Barat. Deklarasi ini lahir sebagai respons terhadap agresi militer Belanda kedua.
Kini, tantangan abad ke-21, yang meliputi ancaman multidimensi seperti ekonomi, pangan, perubahan iklim, hingga perang fisik, menuntut pemikiran dan solusi strategis demi menjaga kedaulatan bangsa.
Ketua Umum DPP LDII, KH Chriswanto Santoso, mengutip peribahasa Latin si vis pacem, para bellum – “jika kamu menginginkan perdamaian, bersiaplah untuk perang.”
Ungkapan ini, menurutnya, mengandung pesan mendalam, terutama bagi kalangan militer.
“Hari ini, perang tak hanya berupa konflik bersenjata, tetapi juga mencakup perang ekonomi, pangan, dan sanksi internasional. Kita memerlukan ketahanan di berbagai sektor untuk menghadapi tantangan tersebut,” jelas KH Chriswanto.
Ia menambahkan bahwa posisi strategis Indonesia sebagai jalur perdagangan dunia membuat negara ini rentan terhadap perebutan kepentingan global.
“Kekayaan alam kita dan lokasi yang strategis telah menjadi incaran bangsa-bangsa imperialis sejak ratusan tahun lalu. Oleh karena itu, kita harus terus menjaga kedaulatan bangsa dengan memperkuat berbagai sektor,” imbuhnya.
KH Chriswanto juga menyoroti dampak global terhadap Indonesia, seperti perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok yang memengaruhi perekonomian.
Selain itu, perubahan iklim yang memicu krisis pangan menjadi tantangan berat. Ia mengapresiasi kebijakan pemerintah Presiden Prabowo Subianto dalam mengembangkan Food Estate, pusat pangan terpadu mencakup pertanian, perkebunan, dan peternakan.
“Langkah ini penting untuk menjaga ketahanan pangan nasional, mengurangi ketergantungan impor, dan menjadikan Indonesia lebih berdaulat di panggung internasional,” paparnya.
Tema Hari Bela Negara 2024, “Gelorakan Bela Negara untuk Indonesia Maju,” yang diusung Kementerian Pertahanan, dinilai KH Chriswanto sangat relevan.
Menurutnya, bangsa Indonesia harus tetap waspada terhadap perang nonkonvensional, seperti perang ideologi, yang bisa merusak bangsa tanpa letupan senjata.
“Generasi muda adalah kelompok rentan. Jika mereka kehilangan nasionalisme dan nilai-nilai Pancasila, mereka bisa menjadi korban perang ideologi yang tersebar luas di media sosial,” tegasnya.
Ia menyoroti gaya hidup konsumtif dan hedonisme sebagai ancaman besar. “
Dengan menyusupkan budaya konsumerisme, bangsa lain diuntungkan ekonominya. Akibatnya, triliunan rupiah uang rakyat Indonesia mengalir ke luar negeri karena tingginya ketergantungan pada barang impor,” tambahnya.
Di sisi lain, Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro, Singgih Tri Sulistiyono, menegaskan pentingnya mengenang Peristiwa Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948.
“Peristiwa ini menjadi tonggak sejarah perjuangan bangsa dalam mempertahankan kemerdekaan. Agresi tersebut justru menyatukan rakyat Indonesia untuk membela negara,” jelasnya.
Singgih mengungkapkan istilah bela negara dalam bahasa Jawa, yaitu ‘melu hangrungkebi,’ yang menggambarkan semangat mempertahankan hak dan kedaulatan bangsa.
Ia menambahkan, “Kesadaran terhadap cinta tanah air, nasionalisme, dan patriotisme adalah kunci menjaga keutuhan NKRI. Tanpa itu, semangat bela negara akan memudar.”
Ia juga menyoroti pentingnya menanamkan nilai-nilai kebangsaan kepada generasi muda, terutama di era digital.
“Generasi tua harus menjadi teladan bagi generasi muda dalam mencintai bangsa dan negara. Melalui sosialisasi nilai-nilai kebangsaan, kita dapat memastikan semangat bela negara tetap hidup dan diteruskan oleh generasi mendatang,” pungkas Singgih.