Transformasi Dusun Sangurejo Menjadi Desa Wisata ProKlim di Sleman—Warga Dusun Sangurejo bekerja keras mengubah kampung mereka dari kondisi miskin dan kumuh menjadi desa wisata yang menarik. Berkat usaha mereka, jumlah wisatawan meningkat dan meningkatkan pendapatan warga setempat.
Kehidupan di Dusun Sangurejo, Kelurahan Wonokerto, Kapanewon Turi, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, mengalami perubahan signifikan di bawah langit biru Sleman. Dahulu dikenal dengan julukan Dusun Pakumis—akronim dari padat, kumuh, dan miskin—kondisi tersebut berubah drastis setelah wabah demam berdarah melanda dusun itu pada 2012.
“Kami mengalami masalah kebersihan dengan saluran air yang kotor, memicu sarangnya nyamuk,” jelas M. Choirul Huda, Ketua Proklim Sangurejo.
Kesadaran warga untuk mengubah citra negatif kampung dimulai ketika sesepuh dan ulama mengajak mereka hidup bersih. Sekitar 80 persen dari penghuni dusun merupakan anggota LDII yang rutin mengadakan pengajian dan salat berjamaah di masjid.
“Dalam setiap pengajian dan setelah salat Jumat, kami selalu diingatkan tentang pentingnya kebersihan sebagai bagian dari iman,” kata Choirul.
Warga LDII dan masyarakat setempat bergotong-royong membersihkan lingkungan mereka. Mereka mengganti kebiasaan membuang sampah sembarangan dengan memilah sampah dan tidak membuangnya di saluran air. Untuk menjaga kualitas air tanah, mereka membangun biopori untuk menampung air hujan dan membuat kompos.
“Kami mengumpulkan dedaunan kering ke dalam lubang biopori. Daun tersebut membusuk dan menjadi kompos yang digunakan untuk memupuk tanaman,” tambah Choirul.
Selain itu, mereka membuat jugangan—galian tanah untuk wadah sampah organik yang ditimbun setelah penuh. Sampah organik yang ditimbun menghasilkan lahan subur untuk bercocok tanam.
Dukungan dari kepala dukuh, pihak Kelurahan Wonokerto, serta Dinas Pertanian dan Peternakan Sleman membantu menggerakkan Karang Taruna, ibu PKK, dan menyediakan alat serta bibit buah-buahan. Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup juga turut membimbing dan mendampingi kegiatan mereka.
Kini, selokan-selokan di Dusun Sangurejo dialiri air bersih dan bebas sampah. Mereka membuat dua bak serapan untuk menampung limbah rumah tangga sebelum dialirkan ke selokan, membuat selokan sehat untuk memelihara ikan.
Pemandangan ikan nila dan koi di selokan menjadi daya tarik wisatawan kota yang jarang melihat saluran air bersih. Kebersihan dan keelokan Embung Kaliaji menjadi daya tarik utama dusun ini.
Transformasi Dusun Sangurejo Menjadi Desa Wisata ProKlim di Sleman
Embung yang berfungsi sebagai penampung air dan irigasi sawah ini dikelola dengan baik oleh warga. Pepohonan ditanam di sekeliling embung, yang juga dimanfaatkan sebagai bumi perkemahan Pramuka Sako Persada Nusantara—sebuah gerakan Pramuka berbasis masjid dan pondok pesantren.
“Dari desa wisata, dukuh kami kini dikenal sebagai Kampung Pramuka,” ungkap Choirul Huda.
Keindahan Embung Kaliaji dan Dusun Sangurejo menarik minat Atus Syahbudin, akademisi Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Ia mendorong pelestarian lingkungan berkelanjutan dan memenuhi syarat administrasi dari Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup.
“Kami berusaha menjadikan Desa Wisata Sangurejo sebagai Desa Program Komunitas untuk Iklim atau ProKlim,” kata Atus, yang meraih Ph.D dari The United Graduate School of Agricultural Sciences, Universitas Ehime, Jepang.
Menurut Atus, menjadi desa ProKlim akan memudahkan kegiatan warga mendapat perhatian pemerintah pusat.
“Kami juga mendorongnya menjadi Desa ProKlim Lestari,” tambah Atus.
Atus menjelaskan bahwa semakin banyak masyarakat, termasuk warga LDII, yang mendirikan Desa ProKlim, semakin besar kontribusi Indonesia dalam menekan pemanasan global dan efek rumah kaca.
“Warga dibiasakan hidup sehat, menjaga air tanah, dan melestarikan alam,” ujarnya.
Atus mencontohkan program menanam pepohonan seperti durian, alpukat, dan jambu kristal di halaman belakang rumah penduduk.
“Langkah penghijauan ini juga dilakukan di lingkungan dusun dan sekitar embung,” tambahnya.
Di Dusun Sangurejo, kegiatan budaya juga hidup. Gus Suryadi, salah satu sesepuh dusun, mendirikan Padepokan Satriotomo yang mewadahi berbagai aliran pencak silat dan jemparingan (memanah) era Kesultanan Mataram. Panah dan busur jamak orang buat secara tradisional dengan bilah bambu oleh prajurit Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Di area Embung Kaliaji, terlihat kuda perang yang mereka gunakan sambil berlatih memanah. Padepokan ini juga melestarikan tari Badui khas Sleman yang memadukan gerakan tari dan musik bersyair sholawat.
“Tradisi Badui kami adaptasi dari budaya Arab sejak era Keraton Mataram dan kita hidupkan kembali sebagai syiar untuk menangkis pengaruh komunis pada 1960-an,” jelas Gus Suryo, salah satu pendekar Persinas ASAD.
Tari Badui menggambarkan latihan perang prajurit dalam bentuk tarian, yang mereka adaptasi untuk menjaga budaya leluhur. Gus Suryo menambahkan, “Kami berusaha melestarikan seni budaya agar generasi muda memahami akar budaya mereka dan tidak mudah terpengaruh budaya yang tidak selaras dengan Pancasila.”
Dengan membangun desa wisata dan melestarikan budaya tradisional, Dusun Sangurejo mengundang wisatawan untuk belajar dari kearifan lokal dalam memelihara alam dan budaya bangsa.